Archives: Bersama Demi Air
Bersama Demi Air

Bersama demi Air” merupakan upaya PALYJA menginformasikan kepada publik mengenai beragam hal seputar pengelolaan air di Jakarta.
Tak semua orang beruntung mendapat pasokan air bersih. Di planet ini, ada miliaran orang yang tidak memiliki cukup air guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi itulah yang membuat PALYJA, salah satu operator penyediaan air bersih di Jakarta, mengadakan kampanye “Bersama demi Air” untuk membangun kesadaran bersama mengenai pentingnya menjaga, mengelola, dan memelihara ketersediaan air bersih secara arif. Kampanye ini sejalan dengan tema Hari Air Sedunia, “Water and Jobs”, yang menitikberatkan ketersediaan jumlah serta pasokan air berkualitas, yang dapat mempengaruhi kehidupan pekerja, bahkan dapat berdampak luas pada aspek ekonomi dan kemasyarakatan.
“Bersama demi Air” merupakan upaya PALYJA menginformasikan kepada publik mengenai beragam hal seputar pengelolaan air di Jakarta. Inilah langkah nyata operator pengelolaan air yang beroperasi di wilayah barat Jakarta tersebut untuk mengajak masyarakat membuat perbedaan yang nyata. Tidak hanya individu, tapi juga melibatkan peran serta masyarakat, yang tentu dampaknya akan lebih terasa.
Di Jakarta, kebutuhan air tiap-tiap penduduk ioo liter per hari. Dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta orang, kebutuhan air ini setara dengan 26.100 liter per detik. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuan pasokan dua operator air bersih di Ibu Kota, yang tercatat hanya mampu memenuhi 17 ribu liter per detik. Artinya, masih ada defisit air bersih sebesar 9.100 liter per detik. Pasokan yang ada pun sebagian besar diambil dari sumber air baku di luar Jakarta. Hanya 3 persen yang diambil dari sungai-sungai di kota ini.
Kondisi itu menjadi tantangan bagi PALYJA, yang 94,3 persen air bakunya bersumber dari luar Jakarta dan hanya 5,7 persen dari Jakarta. Namun tantangan itu dijawab dengan sejumlah prestasi di antaranya meningkatkan akses jaringan air bersih dari 32 persen pada 1998 menjadi 73 persen pada 2015. Cakupan layanan, yang sebelumnya 32 persen pada 1998, meningkat jadi 60 persen pada 2015.
Tahun lalu, PALYJA juga menambah jaringan pipa hingga 1.100 kilometer dan melakukan penggantian pipa hingga seribu kilometer sehingga total jaringan menjadi 5.400 kilometer. Dengan penambahan jaringan ini, koneksi bertambah dari 201 ribu pada 1998 menjadi 404.769 koneksi pada 2015, serta volume air yang terjual dari 89,2 juta meter kubik menjadi 160,2 juta meter kubik.
Meski mampu menjawab tantangan, PALYJA tak lantas berpuas diri. Upaya menjaga pasokan dan kualitas air di Jakarta tetap harus dilakukan melalui edukasi kepada masyarakat. Pada peringatan Hari Air Sedunia 2016,
PALYJA melakukan beberapa kegiatan di antaranya Walk for Water bersama dengan karyawaPALYJAn dan para pemangku kepentingan di area Car Free Day Jakarta; menggalakkan kesadaran masyarakat untuk menaruh kepedulian atas ketersediaan air bersih di Jakarta bersama pemangku kepentingan lainnya, seperti PALYJA Green Community; kampanye simpatik di Jakarta pada 22 Maret bersama Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; serta mengedukasi siswa tentang pentingnya menjaga sungai sebagai salah satu sumber air baku, juga edukasi lingkungan untuk menjaga ketersediaan air, seperti biopori, sumur resapan, dan rainwater harvesting.
Sumber: Koran Tempo Edisi 23 Maret 2016 Halaman 25
Hidup itu adalah perjuangan. Kalimat ini yang ditandaskan oleh Diah Infusiyanti, Section Head Process Development and Optimization PT PAM Lyonnase Jaya (PALYJA), ketika ditemui disela-sela kesibukkannya mengecek kondisi air di kantornya yang terletak di pusat kota Jakarta. Di ruang kantornya yang berada di atas Instalasi Pengolahan Air (IPA) 2 PALYJA, Pejompongan, inilah Diah mengambarkan motto dalam hidupnya.
Perempuan lulusan Tekhnik Lingkungan, ITS, Surabaya ini sudah delapan tahun bekerja diperusahaan pelayanan air bersih bagi warga Jakarta. Perjuangannya dimulai ketika berada di divisi Jaringan. Tugasnya adalah mengontrol sambungan pipa yang bocor, retak, atau adanya aksi pencurian air. Tugasnya menjadi sangat penting agar air bersih untuk pelanggan dapat tersalurkan secara maksimal. “Tingginya tingkat kebocoran pipa mempengaruhi kualitas, kuantitas, dan kontinutitas aliran air ke rumah pelanggan. Ini membuat kami harus melakukan improvisasi untuk menjaga kualitas air olahan agar tetap sempurna,” tutur Diah.
Dengan bersemangat, Diah menceritakan project inovasi yang tengah di lakukan bersama Tim yakni project MBBR (Moving Bed Bio-Film Reactor) di Instalasi Pengolahan Air Cilandak. Jakarta yang dikelilingi 13 sungai, tidak diimbangi dengan kualitas air baku yang bisa diolah untuk menjadi air bersih. “Project (MBBR) ini berguna untuk mengolah air baku dari sungai krukut menjadi air bersih yang berkualitas” tandasnya.
Tidak banyak perempuan seperti Diah berkecimpung dalam bidang teknik yang membuatnya harus berurusan dengan pipa air setiap harinya. Hal ini tidak mengubah Diah menjadi sosok yang kaku, serius, dan misterius. Sebaliknya, perempuan bertubuh mungil ini hangat, ramah, dan selalu menampakkan wajah ceria, berpikiran terbuka dan mandiri.
Sosok Diah merupakan sosok Kartini yang memilih berjuang lewat keahliannya dibidang teknik lingkungan. Seperti pilihannya untuk hidup dan ingin berguna orang banyak. Dia bermimpi bahwa kelak warga Jakarta bisa mendapatkan air bersih secara kontinu setiap harinya. Impian sederhana inilah yang membuatnya tetap konsisten berjuang lewat profesinya.
Saatnya kita berjuang #BersamaDemiAir.
Jakarta, Ahli hidrologi dari Universitas Indonesia Firdaus Ali mengatakan Jakarta mengalami krisis ketahanan air. Alasannya, tak ada satu pun dari 13 sungai yang mengalir di wilayah Ibu Kota yang layak diminum.
“Pemerintah lambat menentukan solusi kekurangan air,” kata dia dalam diskusi di kawasan Puncak, Jawa Barat, Kamis (21/1/106). Di Jakarta, Firdaus menjelaskan, air permukaan hanya tiga persen dari total yang ditampung perairan. Dari tiga persen itu, hanya dua persen air sungai.
Dengan kata lain, Jakarta tak mempunyai sumber air permukaan yang layak diubah menjadi air baku. Sebagai contoh, PT PAM Lyonnaise Jaya sebagai pemasok air bersih di bagian barat dan utara Jakarta memperoleh sumber air baku justru dari luar Jakarta.
Sebanyak 62,5 persen air yang diolah berasal dari Waduk Jatiluhur dan 31,8 persen berasal dari Water Treatment Plant Serpong dan Cikokol, Tangerang. Hanya 5,7 persen yang diambil dari Kali Krukut di Jakarta Selatan dan Cengkareng Drain di Jakarta Barat. “Itu pun kualitasnya tak baik,” kata dia.
Menurut Firdaus, pemerintah harus menyiapkan fasilitas dan sumber daya pengelolaan air yang canggih. Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura yang bahkan sudah mengolah air laut menjadi air minum. Ketiadaan fasilitas ini membuat Jakarta kekeringan saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim penghujan.
Minimnya sumber air baku, menurut Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum Jaya Erlan Hidayat, juga bertambah parah saat rumitnya perizinan untuk mengelola air sungai. Setidaknya ada 15 lembaga dan badan yang harus dilewati sebelum mengolah air baku. “Sedangkan jumlah airnya tak pernah bertambah.” Erlan menambahkan, kebutuhan air di Jakarta dalam sehari mencapai 26.100 liter per detik. Sedangkan jumlah yang dapat dipasok dua operator air minum 17.000 liter per detik. Artinya, masih ada kekurangan air 9.100 liter per detik.
sumber: http://jakarta.bisnis.com/read/20160122/77/511915/jakarta-krisis-air-13-air-sungai-tak-layak-minum
Upaya bersama yang nyata wajib dilaksanakan demi menjaga ketersediaan air bersih di Jakarta.
Akibat musim kemarau panjang dan minimnya persediaan air tanah menyebabkan sejumlah wilayah di Jakarta mengalami krisis air bersih. Beruntung hal itu tidak dialami oleh Dulkadi dan lima anggota keluarganya dan warga di sekitar Muara Baru.
Di ujung salah satu gang buntu di Gang Marlina, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, keluarga Dul, sapaan akrab Dulkadi, tinggal di rumah berukuran 4×6 meter. Rumah tersebut terbagi menjadi dua ruang.
Ruang yang lebih kecil digunakan sebagai kamar mandi, sedangkan ruang lainnya berfungsi sebagai dapur, kamar tidur dan ruang tamu. Sebuah galon air minum isi ulang yang hampir habis isinya diletakkan di salah satu sudut. “Kalau air minum kita masih bisa beli. Harganya sih masih standar,” ujar Dul saat ditemui di rumahnya, awal Oktober lalu.
Saat ini, ia dan warga sekitarnya masih bisa mendapatkan air bersih. Air dari keran Palyja merupakan satu-satunya solusi sumber air bersih bagi warganya karena air tanah terlalu asin dan tidak bisa digunakan untuk memasak.
Kondisi tak jauh berbeda dialami Ma’mun Muhammad Zen, warga Bambu Larangan, Kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Meskipun debitnya terus mengecil, air keran tidak pernah sampai mati total. Warga di daerahnya memang tidak menghadapi masalah dengan pasokan air bersih setelah adanya pemasangan pipa ledeng yang merupakan program bantuan sosial dari Bank Dunia bersama operator penyedia air bersih barat Jakarta itu.
Sebelumnya, warga menggunakan air sungai dan air tanah untuk mencuci dan mandi. “Harapannya sih supaya jangan sampai kita menggunakan air sungai lagi buat keperluan air bersih. Apalagi sekarang air sungai juga sudah kotor sekali,” tuturnya.
Pasokan dari luar
Akibat parahnya kondisi air sungai di Jakarta memaksa DKI mendatangkan air baku -sumber air bersih- dari luar Jakarta. 81% di antaranya berasal dari Waduk Jatiluhur yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat. Sebanyak 17% sisanya disuplai oleh PDAM Kabupaten Tangerang dan hanya sebagian kecil yang berasal dari sungai di Jakarta. Rata-rata air baku itu dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka.
Direktur Pengelolaan Perum Jasa Tirta II Harry M Sungguh menerangkan, saluran terbuka yang dimaksud berupa kanal-kanal air tanpa penutup. Karena itu, kemungkinan terkontaminasi limbah besar sekali, baik limbah cair maupun padat. Pelakunya mulai dari masyarakat umum hingga kalangan industri. “Kalau ke Jakarta itu lewat saluran terbuka yang melewati Kalimalang. Walau terpisah dari Kali Bekasi, tetap saja ada yang tercampur selama perjalanan. Ini susah ditangani terutama jika saluran terbuka melalui permukiman. Ada saja warga yang seenaknya buang sampah ke saluran,” terang Harry.
Meski air memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (self- purification), ia mengatakan hal itu tidak bisa 100% mengembalikan kualitas air baku ke kondisi semula. Solusi sementara pihaknya ialah dengan menjaga debit air di titik 50m3/detik (50.000 liter/detik). Kalau debit tersebut menurun, kualitas air baku yang dialirkan akan menurun drastis. Sedangkan, solusi lain dengan membuat perpipaan dari Jatiluhur sampai Jakarta dinilai tidak ekonomis bagi masyarakat dan perusahaan.
“Sistem pipa bisa saja tapi itu pasti berpengaruh pada harga jual. Lagipula, air baku yang dialirkan tidak hanya untuk air minum tapi juga untuk irigrasi dan industri sehingga harus ada intake- nya di titik-titik tertentu dan itu pastinya menambah biaya lagi,” terang Harry.
Rencana jangka panjang
Pemerintah memprediksi kebutuhan air bersih di Jakarta pada 2025 mencapai 41,5 m3/detik (41.500 liter/detik). Sedangkan, kapasitas produksi air bersih di Jakarta saat ini baru mencapai 18 m3/detik (18.000 liter/detik). Untuk itu, sejumlah upaya lain disiapkan pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan yang ada.
Direktur Pengembangan Air Minum (PAM) Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum M Natsir menyebut rencana terbaru untuk memenuhi kebutuhan ialah dengan membangun sistem penyediaan air minum (SPAM) di Bekasi yang bersumber dari Waduk Jatiluhur. Pemerintah telah menunjuk Perum Jasa Tirta II sebagai penanggung jawab proyek kerja sama dengan menggandeng sejumlah BUMN dan BUMD lainnya.
Pada tahap awal, proyek tersebut ditargetkan bisa menyediakan air bersih sebesar 4 m3/detik (4.000 liter/detik) untuk kebutuhan Jakarta saja. Tahap selanjutnya, pemerintah berencana membangun pipa distribusi utama sepanjang 68 km langsung ke Jakarta yang berakhir di Pondok Kopi.
Proyek itu ditargetkan mampu memproduksi air bersih 5 m3/detik (5.000 liter/detik). “Untuk tahap I, kita tinggal menunggu financial closing pinjaman dari perbankan. Sedangkan tahap II, kami sudah menyiapkan studi awalnya. Tinggal mencari sumber pendanaannya,” terang Natsir.
Proyek lainnya ialah dengan membangun Waduk Karian di Serang yang bekerja sama dengan Korea Selatan. Proyek tersebut diharapkan bisa memproduksi air baku hingga 32 m3/detik (32.000 liter/detik). Ada pula rencana membangun bendungan yang merupakan bagian dari proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Namun, semua itu masih tersendat pada modal. “Investasi menjadi tantangan besar yang harus dihadapi,” sahutnya.
Butuh dukungan
Sebelum semua proyek terwujud, Jakarta akan terus menghadapi kekurangan air. Tambahan suplai yang diupayakan saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan air bersih di Jakarta. Akibatnya, mereka menggali sumur dalam untuk mendapatkan air. Hal tersebut terutama dilakukan oleh perkantoran, perhotelan dan industri lainnya. Namun, dampaknya memperburuk laju penurunan muka tanah di Jakarta. “Kami sudah larang tapi mau bagaimana lagi karena belum ada alternatif lain. Kalau kami melarang tentu harus ada solusi lain sebagai jawaban. Tapi, sungai yang ada kan tidak bisa diandalkan,” sahut Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Tri Joko Sri Margianto.
Pendiri Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali mengatakan untuk mengatasi permasalahan ketiadaan air baku ini, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat harus turun tangan. Salah satu solusi dengan memperbaiki kondisi sungai dan perpipaan limbah, serta membangun setidaknya dua reservoir baru di pinggiran kota Jakarta.
“Kita butuh minimal reservoir baru. Kalau tidak bisa dibangun di permukaaan, bisa dibangun di bawah tanah seperti di Tokyo. Minimal harus ada tambahan suplai sekitar 5.000-7.000 liter per detik. Bukan untuk sekadar suplai, tapi bisa untuk mengendalikan banjir juga nantinya,” jelas dia.
Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Andi Baso Mappoleonro menambahkan, partisipasi masyarakat mutlak dalam upaya penyediaan air bersih. Langkah nyata dimulai dengan tidak mengotori sungai. Kalau tidak ada upaya bersama, masalah yang ada tidak akan pernah tertanggulangi. “Masyarakatnya juga harus berkontribusi, tidak buang sampah ke sungai. Harus ada kecintaan kepada Jakarta,” tegasnya.
Menurut Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat, untuk kasus Jakarta instansi yang menangani penyediaan air bersih banyak, PJT2 memasok 81% air baku ke Jakarta, PDAM 15%, sekitar 4% sisanya dari air sungai di Jakarta. Kalau untuk air baku yang mengalir via sungai ada BBWS (Badan Besar Wilayah Sungai) yang kelola. Misalnya BBWSCC untuk Sungai Ciliwung-Cisadane. Kemudian di Pemprov ada Dinas Tata Air, BPLHD dan di tingkat Pusat ada Direktur SDA, Dirjen Cipta Karya dam BPPSPAM. Yang kelola dan punya kewenangan banyak, sementara airnya masih itu-itu juga.
“Mungkin perlu perombakan struktur untuk menangani air di suatu wilayah? Kenapa karena sungainya melintasi beberapa provinsi dan kabupaten. Kan katanya air dikuasai negara. Akan lebih jauh efisien kalau pengelolaan dan tanggung jawabnya lebih terintegrasi. Selama ini, koordinasi terpaksa dilakukan berulang-ulang dengan berbagai lembaga itu. Sinergi antar lembaganya juga belum terlalu harmonis. Perlu ada upaya untuk meningkatkan sinergi dalam menyediakan air bersih,” tegas Erlan
Pada bagian lain, Wakil Presiden Direktur Palyja Herawati Prasetyo menyatakan kesiapan perusahaannya memperkuat kemitraan dan komitmen yang telah dibangun selama ini bersama pihak-pihak terkait untuk menyediakan akses layanan air bersih bagi masyarakat bagian barat Jakarta.
Herawati menjelaskan pentingnya kesadaran, keterlibatan dan aksi “Bersama Demi Air” dari semua pemangku kepentingan. Tugas penyedia air bersih di Jakarta tidak bisa ditanggung oleh satu pihak saja, atau satu institusi saja. Dibutuhkan komitmen dan kemitraan yang kuat antar instansi terkait termasuk Pemprov DKI, PAM Jaya, Pemerintah Pusat seperti Kementerian PUPR, pihak swasta dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Kemitraan yang kuat antar instansi pemerintah dan pihak swasta akan sangat menguntungkan warga Jakarta, agar mereka mendapatkan akses air bersih yang memadai,” pungkas Herawati.
Media Indonesia, Senin 12 Oktober 2015, H. 9

